11.01.2011

Setahun Erupsi Merapi

Sekitar setahun yang lalu, antara bulan Oktober-Nopember masyarakat Jogja dibuat sibuk, cemas, dan mungkin beberapa diantaranya berduka karena erupsi Merapi. Ya... setahun telah berlalu, dan kenangan itu tetap membekas buat saya. Tulisan yang akan saya share di sini sebelumnya sudah pernah di-share di note Facebook. Tetapi rasanya tak lengkap kalau pengalaman setahun lalu yang berharga ini tidak saya publikasikan di blog ini juga.

Gamang.

Itulah yang kurasakan pada malam sebelum aku dimintai tolong untuk turun ke barak pengungsian di Kepuharjo, Cangkringan, Sleman. Pertama, aku dihadapkan pada sesuatu yang unpredictable. Kedua, dapet info dari temen kalo barak itu adalah barak yang paling deket selain Hargobinangun di Pakem, hiks... Ditambah rentetan peristiwa hari Sabtu >> sejak dinihari ngungsi ke alun-alun nyampe masjid kraton karena hujan abu parah - lanjut balik ke Kentungan untuk mandi trus berangkat ke Puskesmas - sorenya ke Kentungan lagi nahan kram perut bulanan - petangnya cabut ke rumah tante di daerah JEC, akhirnya bisa tidur...

Balik lagi ke malam Senin, untungnya aku punya temen yang baik hati semacam miss Rongkop yang mampu mengurangi kegamangan hatiku *halah*


Kondisi Merapi saat kami berangkat


Pagi, awal Nopember...

Dengan berbekal makanan yg kubawa dari rumah tante plus obat-obatan pribadi *sampe lupa bawa alat tulis*, meluncurlah aku dan miss Rongkop ke Kepuharjo lewat Maguwoharjo. Subhanallah.... sinar matahari dan langit yang cerah membuat Merapi terlihat lekuk-lekuknya yang cantik sekaligus kokoh. Biasanya, Merapi yang terlihat dengan jelas di pagi hari adalah pertanda yang baik. Setelah melewati jalan beraspal yang cukup terjal dan membuat tubuh kami terguncang-guncang, pake hampir nyasar pula, Merapi jadi sosok yang makin dekat, dan sampailah di barak pengungsian tempat kami ditugaskan.



Sepi..kesan pertama.

Beberapa lansia duduk-duduk, yang lain mengobrol. Anak-anak sebagian masuk sekolah, sebagian lagi ada yang libur dan meliburkan diri.

Secara umum, tim medis di posko kesehatan memberi gambaran bahwa kebanyakan pengungsi sudah pasrah akan nasib mereka, sisanya ada yang masih merasa kehilangan atas matinya hewan ternak mereka, ada yang jadi sensitif ketemu blitz kamera atau lampu kendaraan waktu malam hari... ada yang senang didatangi artis ibukota, ada yang ikut tergopoh-gopoh saat tentara diburu waktu untuk apel pagi...

Kami pun ke salah satu tenda, berbincang dengan seorang lansia, lalu mengajak anak-anak bermain, menggambar, mendengarkan cerita. Karena datang tim psikologi dari universitas lain, jadi lumayan rame banyak yang bantuin. Kuajaklah seorang di antara mereka untuk ke posko yang memakai gedung sekolah sebagai pengungsian khusus wanita dan anak, tapi tim medisnya didatangkan dari Jakarta oleh salah satu bank. Baru ngobrol sebentar, eh.... tiba-tiba heboh dengan munculnya wedhus gembel a.k.a awan panas dari Merapi, orang-orang dari ibukota itu pun langsung sibuk mengabadikan momen tersebut dengan perangkat masing-masing, trus....pengungsinya sapa yang ngurusin??? Melihat sendiri wedhus gembel dari jarak yang menurutku lumayan dekat membuatku terkagum-kagum.. indah, bisikku dalam hati. Tapi mengingat efek awan panas itu, aku jadi panik, langsung pasang masker, nelpon miss Rongkop engga nyambung plus ponsel nge-hang, sial! Akhirnya balik lagi ke posko semula, petugas disana berusaha menenangkan pengungsi karena sebagian terlihat mengambil sepeda motor dan beranjak pergi. Kami menunggu...menunggu awan panas itu bergerak ke arah mana, serba tak pasti. Aku mengetik SMS dengan tangan gemetaran, tapi kognisiku masih mampu melakukan seleksi atas siapa saja yang akan kukabari tentang kondisi ini biar engga makin panik. Anak-anak yang tadinya kami ajak bermain sudah diajak pergi oleh ibunya entah ke mana, untungnya sebagian besar masih menurut untuk berkumpul di tenda dan mengikuti pengajian. Mendadak banyak capung. “Itu indikator perubahan cuaca,” kata miss Rongkop.

Aku sadar betul, untuk alasan profesionalisme dan kemanusiaan aku harus tetap tinggal di sana. Tapi psikolog juga manusia, aku juga sadar betul harusnya aku menenangkan para pengungsi itu, walaupun yang terjadi pada akhirnya aku harus melakukan relaksasi untuk diri sendiri sebelum benar-benar menghadapi mereka, bahkan mungkin ekspresi wajah mereka malah lebih tenang dibanding aku. Maklum lah, selama ini aku dibesarkan di tempat yang berisiko rendah untuk terjadi bencana alam—saking nyempilnya rumahku jadi jarang didatangi temen, dan belum pernah terjun langsung ke tempat pengungsian. Lega, setelah dipastikan bahwa awan panas bergerak ke arah Timur, sambil terus me-refresh akun Twitter. Dan,,, mahasiswa psikologi dari universitas lain tadi tak lagi terlihat beredar, berdua lagi deh sama miss Rongkop dan engga mau jauh-jauhan lagi *kok kami jadi kaya’ sepasang kekasih ya? Hihihi...*


Penampakan wedhus gembel

Yokatta, capung-capung yang tadinya berkeliaran perlahan menghilang, akhirnya aku merasa siap menghadapi anak-anak dan berbincang dengan ibunya, sesekali tetap melihat ke arah Merapi. Seorang anak SD kelas 2 memilih aktivitas menggambar dengan pensil warnanya. Kalau anak pada umumnya menggambar gunung berwarna biru lengkap dengan matahari dan sawah-sawah atau burung beterbangan, anak ini menggambar gunung berwarna gelap lengkap dengan lava pijar yang meleleh di lerengnya... mengingatkanku pada foto yang dipasang di headline surat kabar beberapa hari lalu. Ack! Aku jadi menyesal tidak melakukan probing kepada anak ini, apakah dia pernah menyaksikan sendiri lava pijar itu...

Beralih ke posko lain, ada aktivis yang bikin perpustakaan darurat. Tersedia cukup banyak buku di sana, tapi karena sudah semingguan jadinya sudah habis dibaca oleh anak-anak itu. Trus, ada anak yang mengajak main ular tangga, apes tenan aku jarang dapet tangga, bolak balik dapet ular >.<

Hmm,,, semakin mendekati waktu pulang, semakin gencar pula anak-anak ini sebisa mungkin menahan keberadaan kami bahkan dengan cara mengancam, misalnya kami harus menyelesaikan permainan ular tangga atau meminjamkan ponsel sebelum kami meninggalkan barak. Tentunya kami memilih yang pertama. Giliran pamit, tahu kalo badanku lebih kecil dari miss Rongkop, tiga orang memegang erat kedua tanganku dan menahan laju langkahku dengan badan kecil mereka, wew...

Meskipun cara mereka agak kasar, pada intinya mereka butuh perhatian, mereka butuh teman. Namanya juga anak-anak :)



Sore, awal Nopember.

Mobil-mobil kru stasiun televisi swasta berdatangan. Para petugas sibuk memasang ucapan selamat datang untuk wakil DPR-RI *penting ya repot-repot gitu?* Aku dan miss Rongkop turun gunung, merasakan hawa dingin yang mulai mencekam. Anehnya waktu sampai di sekitar Puskesmas Cangkringan hawanya berubah jadi panas... whatever.
Eniwei, pengalaman ini membuatku belajar banyak hal, belajar untuk banyak bersyukur, belajar tentang hidup yang engga bakal kudapatkan di kelas, dan membuatku berpikir bahwa aku memang harus merasakan sensasi ini.

Sisa hujan abu di depan kost

1 komentar:

  1. Pengalaman yg hanya sedikit orang mengalaminya :) jd iri, tantangan dan ilmunya pasti banyak

    BalasHapus