4.09.2011

My Heart Draws a Dream*


Apa cita-citamu?
Satu pertanyaan sederhana ini selalu membuatku flashback ke masa lalu, saat masih duduk di bangku SD, masa dimana aku dicekoki bahwa cita-cita atau profesi yang mulia adalah dokter. Tapi sejak masa itu sebenernya segala kegiatanku ga mendukung ke arah tersebut :p Seingatku, aku suka banget baca majalah dan berlangganan tiap minggunya (Bobo), sering pentas menari tradisional dan jadi murid yang paling cepet hapal gerakan-gerakannya, nyanyi dan ikut lomba paduan suara, sesekali membacakan dongeng  untuk sepupuku waktu menginap di rumahnya, suka bantuin mama bikin kue sampai hapal resepnya di luar kepala dan hobi makan adonan mentah, tapi paling ga bisa yang namanya menggambar/melukis. Entah mengapa, momen yang justru selalu diingat mamaku adalah saat TK ada temen berbadan bongsor yang menangis, aku menghampirinya, memberikan sentuhan untuk menenangkannya dan memberikannya sebuah sapu tangan…

Salah satu hobi yang bertahan hingga sekarang adalah baca majalah, tentunya dengan beragam evolusi :p Kalau sudah berhadapan dengan majalah, suka lupa waktu dan ga bakal ngeh dengan sekitar. Saking cintanya sama majalah, majalah yang kupunya sejak TK-SD itu sebagian masih mulusss dengan isi halaman yang masih lengkap, hanya sedikit yang kugunting karena terpaksa untuk tugas kliping. Saking ekstrimnya cintaku sama majalah, aku paling sebel kalau majalah yang baru kubeli dibaca oleh orang lain dulu sebelum aku membacanya, bisa bete seharian, hahaha… saking banyaknya majalah yang dibaca, sampai bisa membedakan majalah mana yang orang-orang di belakanganya hi-educated dan smart :D
Pengalamanku dengan majalah ga berhenti sampai di situ. Waktu lulus kelas 6 SD puisiku dimuat di majalah Bobo, berujung dapet merchandise t-shirt dan pertama kalinya punya sahabat pena. Pada masa yang sama, aku sering baca majalah SMA punya kakakku dan membayangkan menjadi bagian darinya. Bangku SMA pun menungguku, ekskul jurnalistik pun jadi incaran untuk pertama kalinya, Bhawikarsu Press. Sempet pengen jadi jurnalis lho, hehehe… Hal yang paling berkesan adalah aku diminta mas T meliput pertandingan futsal di sekolah. Whaattt?? Aku bukan penggemar sepakbola/futsal gitu lho, trus gimana dong aku nulisnya?? Melihat tatapan mas T yang jahil, aku terima tantangan itu. Berkat usaha kerasku (terutama observasi, yang hingga sekarang jadi kelebihanku), tulisanku mendapat pujian dengan sedikit perbaikan. Fiuh.. leganya. Setahun berikutnya aku berhasil menduduki posisi Pemred dan Pinum. Walaupun majalahnya menuai caci maki di sekolah sendiri, hayoh aku tantangin ada yang bisa bikin lebih bagus ga? Toh di sekolah sebelah, majalah yang kupimpin dapet pujian :D

Gara-gara majalah pula, aku “banting setir” pengen kuliah Psikologi. Ortu ga langsung setuju sih, tapiii akhirnya dibolehin juga, alhamdulillah. Meskipun sudah setahun kuliah masih ada saudara yang bertanya, “ga kuliah kedokteran aja? Kan kamu pinter..” Helloo, emang kalau kuliah psikologi ga butuh pinter? Ckckck…
Memasuki bangku kuliah, semangat untuk menulis menguap entah kemana.. kemampuan menulisku jadi ga pernah terasah lagi. Dan seiring berjalannya waktu, aku pengen jadi psikolog dan punya tempat praktik sendiri, karena itu aku lanjut magister profesi deh..
Kehidupan yang kulalui hingga saat ini membuatku bersyukur, apalagi hasratku untuk menulis kembali muncul (terima kasih untuk seseorang di sana yang selalu memberi dorongan dan apresiasi). Terkait dengan hobi masa kecil, masih tersimpan impian punya tempat praktik yang ada semacam corner untuk klien mencicipi kue buatanku, hihihi… lucu kali ya, atau psikolog yang punya kerjaan sampingan jadi kontributor majalah, hmm… akan terwujud atau engga, biarkan alam semesta yang berbicara ^_^

*minjem judul lagunya Laruku :p

4.02.2011

Puding Kacang Hijau

Hm... siapa sih yang engga tau nilai gizi kacang hijau? Mau direbus dan diminum airnya enak, dibikin bubur kacang hijau juga oke, apalagi dibikin campuran kolak. Alternatifnya kalo lagi bosen, bisa juga lho dibikin puding.
Saya nemu resep ini di majalah Selera, sudah agak lama, tapi melihat bahan yang mudah didapat dan step pembuatan yang sederhana, tanpa ba-bi-bu langsung dicoba dehhh.. ;)

Bahan:
100 g kacang hijau kupas
500 ml air
1 ruas jahe, dimemarkan
daun pandan secukupnya
600 ml susu cair
100 g gula pasir
100 g gula palem
1 bungkus agar-agar putih
garam secukupnya

Cara membuat:
  1. Rebus kacang hijau kupas bersama air, jahe, dan daun pandan hingga kacang hijau empuk, lalu angkat dan tiriskan.
  2. Rebus susu cair bersama gula pasir dan gula palem serta agar-agar putih dan garam hingga mendidih, lalu masukkan kacang hijau.
  3. Angkat lalu tuang di cetakan sesuai selera.


Mudah kan? Selamat mencoba :)

変身, Desire, Transpersonal


Yeah,,,, saya memang perempuan, usia 27 pula, tapi rasanya ini bukan jadi halangan untuk setia menonton serial TV jepun yang namanya kamen rider :D (sampai2 temen2 kuliah pada bilang kalo engga masang status berbau kamen rider artinya saya lagi stress, hahaha… aja2 ada :P)
Kalo ditanya kenapa saya suka kamen rider, jawabannya cukup simpel kok. Kamen rider bukan serial yang isinya adegan gebuk-gebukan dengan monster yang jelek (emang ada monster cakep?), tapi juga ada pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kalo masalah pemainnya cakep, anggep aja sebagai bonus :D
Kamen rider heisei yang jadi favorit sampe saat ini adalah Kabuto,,, hm.. the perfect one indeed, baik dari segi karakter, armor, maupun gaya bertarung yang elegan bin kakkoi.. *plus mizushima hiro yang bikin klepek2 waktu pake tuxedo putih*

Beberapa waktu yang lalu (tepatnya sebelum masuk mapro…ouwh, satu setengah tahun sudah berlalu ternyata), saya kepikiran nulis review tentang kamen rider heisei mulai kabuto sampe decade dilihat dari beberapa poin, tapi karena kesibukan akhirnya jadi terbengkalai  -__-

It’s ok.. yang penting adalah kali ini saya akan mengulas seri terbaru yaitu Kamen Rider 000 (baca: Os) yang mulai tayang di Jepang sejak September 2010 lalu. Karena saya akan mengulas dari sudut pandang saya pribadi sebagai penonton cewek dan calon Psikolog (amin), jadi memang sengaja engga baca sumber dari mana pun, hihihi… *sersan gitu deh a.k.a serius tapi santai…* >> agak sebel kalo baca animonster, kamen rider masuk kategori B-side alias boys side T_T

Episode pertamanya saja sudah jadi episode yang saya puter berkali-kali. Ada beberapa alasan memang. Pertama, saya heran episode berdurasi 23 menitan itu ceritanya sarat dengan makna dan sangat berbobot, mampu menyajikan alur yang cukup bisa dipahami, tapi juga jadi penentu rasa penasaran terhadap episode berikutnya. Kedua, yang langka adalah momen saat henshin itu ada lagunya *TaToBa,, TaToBa, TaToBa*.. adegan ini beneran bikin ngakak walopun engga sampe guling-guling. Ketiga, wajah pemerannya itu lhoooo, cupu banget! Saya jadi teringat kamen rider den-o yang lugu dan selalu sial itu.

Lanjuuuut,, setelah nonton episode 2, 3, 4, dan seterusnya baru keliatan deh polanya seperti apa…
Karena yang jadi obyek adalah manusia, pastinya juga berlandaskan atas sifat dasar manusia. Sifat manusia yang menonjol di cerita ini adalah manusia yang mempunyai keinginan. Sou desu, engga ada yang salah dengan punya keinginan, untuk survive manusia harus punya keinginan, untuk sukses dia harus punya mimpi. Tapii,, sejauh manakah keinginan ini menguasai manusia. Dakara sa, manusia-manusia yang menjadi sasaran Greed (musuh di serial ini) adalah yang berlebihan dalam memiliki keinginan. Dimana-mana yang namanya berlebihan juga engga baik kan?
Misalnya, episode pertama dan kedua tentang keinginan memiliki harta sampe2 menghalalkan segala cara termasuk mencuri, bahkan sekujur tubuh udah penuh dengan perban pun masih punya keinginan merampok bank.
Episode 3 & 4, tentang manusia yang keinginannya cuma makan, makan, dan makan, kaya engga punya rasa kenyang. Episode 5 & 6, tentang manusia yang hobi shopping branded items mulai sepatu, tas, baju. Sudah beli di toko masih juga beli secara online. Barang yang cacat dikit aja engga mau dipake lagi tapi harus beli baru. Padahal juga masih pake duit ortu. Giliran ortu tiba-tiba bangkrut, dia pun engga tahu harus ngapain lagi. Di episode yang lain ada istri yang suka mukulin suami dan ngelemparin suaminya pake sandal karena si suami ini boros banget. Juga ada peneliti yang punya keinginan untuk merusak dengan cara bikin bom dan mengebom tempat-tempat umum.


Nahh,, kalo dilihat dari sudut pandang psikologi transpersonal, keinginan manusia yang berlebihan semacam itu dinamakan “wanting”. Wanting juga bisa diistilahkan dengan hasrat atau nafsu keinginan. Ada beberapa macam wanting, yaitu:
  1. Wanting to control vs to be controlled (keinginan menguasai dan dikuasai)
  2. Wanting approval (wanting disapproval vs wanting to love)
  3. Wanting security vs wanting to die
  4. Wanting to be separate vs wanting to be one

Bagaimana dengan karakter lakonnya sendiri?
Setiap manusia yang terpilih menjadi kamen rider selalu punya keistimewaan. Karena tema serial ini adalah “desire”, lakon utamanya hampir-hampir engga punya keinginan selain membantu orang lain. Buat dirinya sendiri, yang penting bisa makan, tidur nyenyak, dan ada baju (terutama daleman :P) buat esok harinya. Misal hari ini jadi satpam, dia engga mikir apakah besok dia masih kerja di tempat yang sama ato engga. Karena kebaikan dan kesederhanaannya, ada pemilik kedai yang mau member dia tempat tinggal dan pekerjaan sebagai pelayan di situ. Dia juga punya prinsip yang oke banget, yaitu yang penting bukan apa yang ia ingin lakukan, tapi apa yang sudah ia lakukan. Intinya, lakon ini engga punya wanting, makanya dia jadi manusia terpilih ;)

Kalo dikaitkan dengan tiap episodenya, hampir ada tuh semua wanting. Contoh, kisah suami istri yang berantem itu. Dulunya suami ini seorang fotografer yang terkenal dengan karya yang bagus, tapi karena suatu hal kameranya harus dijual, di sisi lain suami ini juga boros sampe penghasilan istri pun dihabiskan. Istri mana yang engga jengkel dengan keadaan seperti ini? Tetapi istri ini akhirnya ingin mengendalikan (wanting to control) suaminya, bahwa semua hal harus sesuai dengan caranya. Kalo engga, dia akan memukul si suami, bahkan dia akan mengejar kemanapun si suami ini pergi (buat mergokin betapa boros si suami trus dipukulin dan dilemparin sandal -__-). Whoooaahh,, top dog-under dog banget ini!

Contoh lainnya yang hobi belanja itu…. Wanting yang menonjol adalah keinginan untuk diakui. Orangtua kaya raya tapi keliling luar negeri, jadi dia kurang kasih sayang. Akhirnya belanja ini-itu walopun bukan jadi kebutuhannya, karena ingin diakui dan dihargai oleh teman-teman di kampusnya. Kekayaan orangtua yang dibanggakan selama ini malah jadi bumerang, ayahnya pun mengalami kebangkrutan. Oke,, cukup untuk contohnya yaa, kalo dibahas semua engga selesai sehari semalam nih..

Jadi, kalo ditilik dari content-nya, emang terlalu “berat” untuk dikonsumsi anak-anak. Di Jepang sendiri, genre  tokusatsu semacam ini batasan umurnya 13 tahun ke atas. Dan menurut saya pribadi, mending nonton kamen rider daripada nonton sinetron, hahaha… Hmmm… jadi engga sabar menunggu kelanjutan serial ini. Disponsori apple gitu looohh..

Kamen rider? Why not???

Note: karena tiap judul episode terdiri dari 3 kata/frase, begitu pula dengan judul tulisan ini

Trans Jogja and Positive Parenting


Kalau ada yang bertanya-tanya apa hubungannya antara Trans Jogja dan Positive Parenting, saya jawab memang ga ada korelasinya, hehehe… ini adalah salah satu dari pengalaman saya waktu naik bus Trans Jogja dari shelter terminal Jombor sampai shelter Kentungan. Bukan perjalanan yang cukup panjang memang, tapi sangat berkesan meski beberapa bulan telah berlalu, tapi baru sekarang bisa tertuang dalam tulisan. Dan apa yang membuat pengalaman ini berkesan, adalah bagaimana seorang bapak melakukan pendidikan yang patut dicontoh oleh orangtua lainnya.
      Kronologisnya, seorang bapak masuk ke dalam bus dengan tergesa bersama anak laki-laki. Sekilas melihat si bapak, saya mbatin “Bapak iki kok sangar yo, rambut kribo, gondrong, dikuncir, brewokan pisan.” Tak lupa celana dan jaket berbahan denim yang melengkapi tampilan ala “preman” itu. Melihat anaknya, saya mbatin lagi “Iki moso’ anake?? Gak mirip blas!” karena si anak berambut lurus dan kurus, sedangkan bapaknya agak gemuk, selain tekstur rambut tadi.
      Begitu masuk bus, anak ini mengambil tempat duduk di sebelah saya, tapi dia langsung menaikkan sepatunya diatas jok, hmm… sesuatu yang wajar dilakukan anak seusianya saat naik kendaraan. Efuoria. Apa yang dikatakan bapaknya?
      “Kamu mau duduk disini?”
      “Iya.”
      “Oke, boleh.. tapi bapak minta maaf ya.. kamu kan pakai sepatu, kalau kakimu naik di sini nanti kotor..”
      “Berarti sepatunya dilepas?”
      “Hm.. kalau pakai sepatu sandal ga apa-apa, kan gampang dilepasnya. Tapi kamu kan pakai sepatu, jadi agak susah..”
      Anak itupun menurunkan kakinya. “Buseeeet, tampilan boleh sangar, tapi tutur katanya ga sesangar tampangnya, ga gengsi pula minta maaf ke anaknya” batin saya lagi.
      Rupanya, anak ini cukup “aktif”, ga seberapa lama setelah menurunkan kaki, dia berdiri tanpa pegangan padahal bus tersebut akan berbelok dan menyeberang.
“Bapak, aku ga jatuh lho..” sambil ketawa-ketawa.
“Yaa… mungkin bisa jatuh, mungkin juga engga.. tapi, kamu harus tau resikonya, kalau nanti jatuh ya ga boleh nangis.”
Dan anak itupun kembali memilih duduk setelah badan dia oleng ke kanan-kiri ga beraturan.
“Kita mau kemana, Pak?”
“Ke bandara, jemput ibu.”
Ponsel berdering, bapak itu mengangkat telpon…
Iseng-iseng saya bertanya nama anak itu, dijawab sekenanya tapi waktu ditanya sekolahnya ga digubris, ya sudah.. saya diam.
Setelah bapak itu menutup telpon, dia berbicara lagi ke anaknya, lagi-lagi dengan tutur kata yang halus.
“Dengerin bapak. Pesawatnya ibu nanti kan datangnya terlambat, jadi kita ke Mrican dulu ya, ke rumah si B biar nunggu di bandaranya ga terlalu lama. Kan kita ga boleh kalau ada di bandara terlalu lama.”
“Tapi jadi ke bandara?”
“Jadi, tapi kita mampir berhenti di Mrican dulu..”
Hening.
“Oiya..tadi ditanya sama kakak tuh, sudah dijawab belum?”
He noticed. Anaknya diem aja.
“Ya, tadi tanya namanya sudah dijawab, tapi tanya sekolahnya belum dijawab,” saya menimpali.
“Oh, namanya T**o, artinya pohon yang kuat. Sekolahnya TK A, tapi ga suka dianggap masih kecil jadi ngakunya TK B, hehehe…”
Bus lalu berhenti di depan traffic light.
“Bapak, kenapa ya, kalau lampunya merah kita berhenti, kalau lampunya emas siap-siap, tapi kalau hijau baru boleh jalan?”
“Wah, kalau itu sudah kesepakatan banyak orang, jadi jangan tanya bapak kenapa.”
Seluruh penumpang spontan tertawa. Padahal jawaban standar orangtua “ya sudah dari sananya” atau “kalau ga begitu ya ditangkap polisi”.
Ah..ga terasa sudah sampai shelter Kentungan ternyata, padahal masih ingin mendengar celoteh anak itu dan bagaimana bapak itu menanggapinya dengan bijak.

Berdasar pengalaman tersebut, menurut jadi orangtua memang gampang-gampang susah, apalagi jaman sekarang yang anak-anaknya makin cerdas dan kritis. Jadi orangtua ya harus pinter juga, harus bisa setara dan menjadi sahabat bagi anak tanpa harus kehilangan wibawa sebagai orangtua. Walaupun pada akhirnya ga ada orangtua yang sempurna, termasuk orangtua kita sendiri, atau bahkan orang yang mengerti psikologi anak sekalipun. Tapi setidaknya, kita memberikan yang terbaik untuk anak saat kita sudah menjadi orangtua, karena bagaimanapun juga perilaku anak adalah cermin dari perilaku orangtuanya.
Siapkah Anda menjadi orangtua? Bagaimana Anda akan mendidik anak Anda dan bekal apa yang sudah Anda punya? Pilihan ada di tangan Anda.

What a Life!


Orang jaman dulu bilang *ya engga dulu-dulu banget sih :P*... untuk jadi orangtua itu engga ada sekolahnya, Catherine-Zeta Jones dalam No Reservation pun berharap andai hidup itu ada resepnya...
Intinya, dalam menjalani hidup itu pasti akan berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Tetapi juga bukan berarti tinggal menjalani apa adanya tanpa pedoman, at least kita punya perbekalan berupa pengetahuan atau gambaran tentang seperti apakah hidup yang akan kita lalui ke depan, lebih bagus lagi kita bisa belajar dari pengalaman. Lagi-lagi engga harus kita sendiri yang mengalami, kita masih bisa belajar dari pengalaman hidup orang lain kok..termasuk dalam membina rumah tangga, misalnya belajar dari pengalaman berikut ini..

Seorang istri berusia 41 tahun, suaminya 36 tahun. Keduanya berencana untuk punya anak lagi..
“Ibu kerja apa?”
“Ya ibu rumah tangga biasa, mbak.”
“Kalau suaminya?”
“Ya serabutan, apa yang ada ya itu yang dijalani.”
“Sekarang ibu sudah punya anak berapa?”
“Dua, mbak. Laki-laki semua. Yang pertama umur 20 tahun, yang kedua umur 17 tahun.”
“Trus ibu pengen punya anak perempuan, begitu?”
“Hehehehe...maunya sih begitu kalau dikasih. Makanya saya minta tes kesuburan..”

Si suami sudah pergi duluan karena engga sabar nungguin si istri di ruang konsultasi, si istri pun diberi psikoedukasi bahwa usianya menjadi faktor utama kehamilan yang berisiko tinggi, belum lagi kalau punya anak lagi juga butuh biaya yang engga sedikit padahal kerjaan suaminya serabutan. Tapi si istri ini bilang “iya” dengan muka bengong.. *Bu, mudheng ga sih sama omongan saya?*

Setelah dirunut-nut-nut, kedua suami istri itu menikah karena dijodohkan oleh orangtua mereka *oke*, hingga saat ini biaya hidup mereka masih ditanggung orangtua *oh no!*. belum lagi anak yang pertama  pengangguran dan yang kedua masih duduk di bangku SMP dengan umur sekian karena sering bolos sekolah *chotto matte yo!*, dan alasan ingin punya anak lagi adalah supaya ada yang menemani si istri bekerja di dapur *wew*..

Mungkin kelihatannya mustahil bin mustajab :D, tapi inilah realita yang terjadi di masyarakat. Dan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman ini. Antara lain, kalau punya rencana ya harus berpikir panjang dan dikomunikasikan secara baik-baik dengan pasangan. Daripada punya anak lagi, mbok ya anak yang ada ini dididik yang bener, bagaimanapun anak adalah titipan. Yang pengangguran dikasih motivasi biar cepet dapet kerja, adiknya juga diperhatikan biar engga bolosan.  Kalo dipikir-pikir, tugas orangtua kok sepertinya berat yaa..*kalo gitu engga usah dipikir aja, hehe...*
Kesimpulan yang bisa aku ambil, jadi orangtua juga perlu kesiapan. Bukan cuma kesiapan materi, tapi juga kesiapan mental. Sekali lagi, karena engga ada pelajaran di sekolah soal bagaimana menjadi orangtua yang baik. Berat engga-nya ya relatif, kalau semua hal diniatkan untuk ibadah dan ikhlas, Insya Allah akan dimudahkan :)