12.15.2011

Omelet Mie ala Anak Kost :D

Menu ini bisa jadi pertolongan pertama pada kelaparan bagi anak kost, alternatif kalau bosan dengan telur dadar saja atau mie instan saja, jadi digabungkan keduanya, hehe..

Bahan:
2 butir telur
1 bungkus mie instan kuah (biasanya saya pilih rasa soto)
Keju cheddar parut bila suka
Saus sambal botol untuk pelengkap
Margarin secukupnya

Cara membuat:
1.    Rebus mie instan sesuai petunjuk dalam kemasan, setelah matang tiriskan.
2.   Dalam wadah, kocok telur bersama bumbu mie instan (minyak bumbu tidak usah dipakai) hingga tercampur rata. Masukkan mie yang telah ditiriskan tadi.
3.    Ambil wajan datar, panaskan margarin hingga meleleh, dan masukkan campuran mie-telur lalu ratakan. Bila suka, beri taburan keju parut saat setengah matang, lalu balik dan tunggu hingga matang pada kedua sisi.
4.   Omelet mie siap disajikan bersama saus sambal botol.

Well, ini dia penampakannya :)

11.01.2011

Setahun Erupsi Merapi

Sekitar setahun yang lalu, antara bulan Oktober-Nopember masyarakat Jogja dibuat sibuk, cemas, dan mungkin beberapa diantaranya berduka karena erupsi Merapi. Ya... setahun telah berlalu, dan kenangan itu tetap membekas buat saya. Tulisan yang akan saya share di sini sebelumnya sudah pernah di-share di note Facebook. Tetapi rasanya tak lengkap kalau pengalaman setahun lalu yang berharga ini tidak saya publikasikan di blog ini juga.

10.19.2011

Caffeine Here... Caffeine There...

Coffee...
Chocolate...
Tea...
I love all of 'em 


Dark chocolate yang paling enak buat saya, manis dan pahitnya pas. Khusus camomile tea itu caffeine-free

I'm addicted to you, milk chocolate with hazelnut


Cinnamon chocolate bar from Toko Botani IPB, dark chocolate 72%, dark chocolate with orange peels

Kopi Bali Kintamani & Green Tea Sencha from Toko Botani IPB
My 1st Twinnings :)

10.08.2011

10.05.2011

10.02.2011

Birthday Blast

Hari lahir saya sudah lewat lebih dari seminggu yang lalu, ini adalah ulang tahun ketiga saya selama di Jogja, masing-masing punya cerita berbeda. Mungkin tidak terlalu istimewa karena tidak dirayakan di rumah makan mewah atau diberi kejutan di kos oleh teman-teman ataupun kehadiran kekasih, tapi bagi saya semuanya berkesan.


Untuk tahun ini saya memang menginginkan sesuatu yang berbeda. Saya mengatur supaya tanggal lahir saya di social media hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja. Bukannya saya ngga pengen dikasih ucapan selamat atau ngga pengen didoain yang bagus-bagus, atau malah karena ngga pengen dimintai traktiran. Bukan itu. Saya pengen tahu apakah teman-teman yang saya anggap dekat masih ingat tanggal lahir saya tanpa diingatkan oleh social media. Kalaupun tak ingat, it can’t be helped.. Misal ada yang benar-benar ingat, pastinya ucapan itu menurut saya akan lebih bermakna, lebih tulus tanpa basa basi. Kalau ada yang tidak sependapat dengan saya, it’s ok.. nyatanya saya justru mendapat lebih banyak ucapan lewat SMS, dan satu-satunya SMS yang saya terima tengah malam hanya dari pusat informasi Psikologi UGM :D

Ada yang “unik” dari ultah saya tahun ini, unik diberi tanda kutip ini karena memang ga biasa, malah cenderung sepi-sepi saja, hehe… waktu itu pagi-pagi saya ditelpon mama, lalu ada nomor lain yang masuk, saya pun minta ijin untuk menerima telpon yang satunya lagi. Ternyata di depan kos sudah ada kurir yang mengantar kardus kue besar. Dari tutupnya yang bening saya bisa melihat sebuah tiramisu dengan tulisan Selamat Ulang Tahun Sayang di atasnya, aww… jadi malu sama kurirnya nih :”)
Saya lihat jam di ponsel, bahkan ini belum pukul 6, jam pengiriman kue yang ngga biasa, hehe.. Bahkan saking “sakral”nya tiramisu ini, saya sudah dikirimi pesan beberapa kali yang menanyakan apakah tiramisunya enak, saya jawab “Sabar ya, masih di kulkas, ntar mandi dulu biar bersih dan wangi baru ngicipin tiramisu.” Mungkin yang disana sudah gelisah menunggu live report dari saya :p
Taraa…! Sebelum kardus dibuka, saya potret dulu dari berbagai sisi. Dan tiramisunya enaaak, saya langsung semangat menghabiskan dua potong, walaupun pengennya potongan pertama buat yang ngirimin tiramisu ini T.T
Karena ngga mungkin menghabiskannya sendirian, saya bagikan ke beberapa teman kos, dan menawari teman kampus untuk main ke kos.




Lalu saya ingat kalau hari itu saya “dipingit”, maksudnya ngga boleh keluar kemana-mana, nunggu surprise yang kedua. Sampai sore, sampai saya ngantuk ditahan-tahan, sampai saya bosen ngenet, surprise yang kedua ini tak kunjung datang. Ohlala ternyata….baru datang esok harinya. Alhasil saya hari itu jadi ngga produktif deh. Demo na.. daijoubu desu, isinya setara dengan menunggunya, hehe…




Birthday wishes?? Ah,, itu biar saya dan Tuhan yang tahu. Saya hanya perlu lebih banyak bersyukur, saya diberi sehat, diberi teman-teman dan kekasih yang perhatian, dan keluarga yang utuh :)

10.01.2011

Women's Talk

              Ga tua, ga muda. Kalo cewek-cewek pada ngumpul, topik pembicaraannya ya itu-itu aja. Cowok, relationship, gosip. Walaupun itu-itu aja, tapi toh ga pernah bosen diomongin. Meskipun bagi teman-teman saya tergolong pendiam, tapi ga munafik ah, saya juga ngelakuin itu kok. Tetapi pernah sekali waktu saya di tempat praktik, maksud hati sih mengakrabkan diri dengan pegawai yang lain, yang terjadi akhirnya saya malah memaksakan senyum. Memang usia mereka di atas saya, sudah berkeluarga, wajar saja yang diomongin soal peralatan rumah tangga, eh kemudian berubah topik ngomongin orang lain yang saya ga kenal dan ga tau wujudnya. Ngok! Saya berasa alien, jadi kemudian saya memilih mundur teratur. Mau diomongin sebagai calon psikolog yang sombong atau ga bergaul ya terserah.

            Nah, apalagi kalau cewek-cewek ini segerombolan mahasiswa psikologi ya, “ritual” itu ditambah dengan observasi dan menganalisis. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, saya makan berempat  di tempat makan yang mengusung konsep Go Green, mulai dari tempat yang banyak tanaman, pemesanan tanpa kertas (pakai PDA), sampai pengemasan yang meminimalisir penggunaan plastik (untuk yang dibungkus). Kami memilih tempat di lantai 2 yang agak sepi. Yang satu sibuk nyeritain gebetan brondongnya sampai buku menu dianggurin gitu aja, yang satu lagi euphoria blogging jadinya serius ngadepin notebooknya, yang satu lagi ngemil topping cupcake yang tebelnya amit-amit, saya sebagai outsider (maksudnya jarang ngumpul sama mereka :p) asik-asik aja dengerin cerita tentang brondong. Sambil ngobrol ini itu, pesan makanan ini itu, ngetwit ini itu.

            Cerita brondong udah selesai, sasaran berikutnya adalah empat orang cewek yang duduk di meja sebelah kami. Kenapa mereka akhirnya jadi sasaran? Awalnya kami terganggu banget karena salah satu dari mereka yang selesai makan langsung ngerokok dan arah angin sedang tidak bersahabat, alhasil asap rokok itu mengarah ke kami yang sedang menikmati makanan. Kegiatan observasi-analisis pun dimulai. Dari pengamatan kami yang ga penting dan agak kurang kerjaan itu didapatkan kesimpulan yang belum tentu valid karena tidak dilengkapi dengan autoanamnesa, haha.. singkat kata, cewek itu hanya korban pergaulan semata, yang ngerokok karena pengen dianggep gaul, bukan karena kebutuhan. Kami pun mengomentari wajahnya yang kusam (salah satu efek rokok tadi), gaya ngomongnya pake “lo-gue” tapi pengucapannya sampe kaya kecekik gitu. Padahal ya, belum tentu juga dia berasal dari Jakarta, yang asli Jakarta aja mungkin ga segitunya.

            Sasaran kemudian berpindah karena salah satu dari kami mendengar dan (kebetulan) melihat sepasang cowok-cewek duduk berhadapan dan cowoknya bilang “Kita putus aja gimana?”
Ouchh….Kemudian kami mengamati gesture si cowok yang menunjukkan tanda-tanda kecemasan, makanan-makanan yang tak lagi disentuh, si cewek yang hanya diam dan menunduk.. Daaan.. sayang sekali sodara-sodara, kegiatan ini musti dihentikan karena si cewek yang notabene membelakangi kami itu menoleh, hehehe… lalu mereka berdua memutuskan pergi. Memang bukan salah mereka kalau memilih ketemuan di tempat makan (“daripada diputusin lewat telpon”, kata seorang dari kami ;p), tapi bukan salah kami juga karena keberadaan mereka yang cukup menarik perhatian kami yang kurang kerjaan ini :D

             Karena “kegiatan” semacam ini hanya dilakukan oleh cewek, maka hanya bisa dimengerti oleh cewek :D

9.13.2011

5.11.2011

The Little Comedian: Review


Berawal dari dua majalah yang kubaca, keduanya terbit dalam waktu yang berdekatan, sama-sama meliput acara nonton bareng film The Little Comedian, dengan salah satu bintangnya adalah model iklan produk kecantikan P**ds. Karena penasaran, aku pun browsing di internet dan akhirnya menemukan link download film ini tapi tidak menemukan subtitle yang pas. Berbekal English subtitle yang agak “ngaco”, aku nekat menonton Thai movie ini.

***

Saat kita dilahirkan, kita tidak bisa memilih lahir di keluarga mana dan berstatus apa. Demikian pula dengan Tock, yang lahir dan dibesarkan di keluarga pelawak secara turun temurun, yaitu dari kakeknya dan sekarang dilanjutkan oleh ayahnya, sedangkan ibunya menjadi semacam manajer yang mengatur jadwal mereka manggung dan memutuskan akan menerima permintaan manggung atau tidak. Namun selama ini mereka manggung di restoran, dan bermimpi suatu saat akan tampil di televisi.
Sebagai anak pertama dan laki-laki, orangtua Tock pun mengharapkan kelak ia dapat meneruskan usaha ini, oleh karena itu Tock harus bisa melawak atau melucu. Ditambah lagi ayahnya pernah mengatakan bahwa dengan bisa melucu, maka Tock bisa membuat perempuan tertarik padanya karena perempuan itu menyukai pria dengan selera humor. Oleh karena itu ayahnya mulai mengajak Tock ikut manggung pada usia yang sangat muda, bahkan masih bisa dikatakan anak-anak. Ternyata pertunjukan perdana Tock mengecewakan karena tak satupun penonton tertawa dengan lelucon yang dilemparkan oleh Tock, yang terjadi malah Tock menciptakan keheningan di antara mereka…. Sejak saat itu Tock tak pernah ikut tampil lagi.
Meski gagal di panggung ayahnya, Tock tetap mencoba di pertunjukan sekolah. Lagi-lagi Tock gagal dan mendapat hukuman bersama dua orang temannya. Apalagi ketika Tock punya adik perempuan yang lebih pintar dan lebih lucu, semua orang bangga dengan adiknya, Moon.

Pada suatu hari terjadi insiden yang membuat Tock bertemu dokter yang cantik. Dan yang membuat Tock jatuh cinta adalah, dokter itu tertawa dengan lelucon Tock. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ada orang yang tertawa dengan kata-kata Tock. Demi bertemu kembali dengan dokter itu, Tock mengkonsumsi makanan penyebab jerawat, dan meminjam uang tabungan adiknya untuk berobat ke klinik.
Singkat cerita, Tock tak mungkin menjadi pria dalam hidup dokter tersebut. Bukan hanya karena perbedaan umur yang sangat jauh, tetapi juga karena dokter tersebut sudah memiliki kekasih yang sedang menjalani studi di luar negeri. Sehingga yang bisa dilakukan oleh Tock adalah menjadi seorang hero bagi dokter itu.

***

Dengan membaca judulnya sudah terlihat bahwa film ini didominasi oleh komedi, walaupun ada beberapa adegan yang membuat sedih. Honestly, untuk lelucon mereka di panggung dengan subtitle yang mengenaskan, hal ini akan sulit dipahami maknanya, dan aku tidak menemukan letak kelucuannya. Sejauh pengamatanku, terkadang suatu lelucon juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Jadi yang kualami itu kurasa wajar saja, selama masih bisa tertawa di adegan yang lain ;p
Ada beberapa hal yang ingin kusoroti dan mungkin bisa jadi semacam lesson learnt dari film ini:
  1. Film ini mengingatkanku dengan beberapa kesenian tradisional Jawa semacam ketoprak atau ludruk, yang pemainnya sudah sangat “biasa” untuk berperan sebagai wanita. Di film ini pun, ayah Tock beberapa kali terlihat berperan sebagai wanita, tidak hanya di panggung, tetapi juga di sekolah Tock saat menghadiri suatu acara karena ibu Tock sedang di RS melahirkan Moon, adiknya.
  2. Perkataan ayah Tock bahwa seorang pria harus bisa melucu dimaknai dengan dalam olehnya. Sehingga Tock berusaha keras untuk memenuhi harapan ayahnya itu dengan berbagai cara, karena ia merasa bahwa ia akan dicintai oleh ayahnya jika ia bisa melucu seperti adiknya. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar apapun harapan orangtua, harus tetap berhati-hati dengan perkataan, juga untuk tidak membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain. Because it hurts..
  3. Untungnya di akhir cerita, ayah Tock menegaskan kembali bahwa perempuan itu menyukai family man, tak peduli apakah dia bisa melucu atau tidak.
  4. Betapa pentingnya komunikasi orangtua dan anak. Kadang anak mempersepsikan apa yang dikatakan orangtuanya berbeda dengan yang sebenarnya dimaksudkan. Tock merasa ayahnya lebih menyayangi Moon dan tidak pernah mempedulikannya. Tetapi ternyata ayahnya rela mengorbankan syuting perdananya di televisi demi mencari Tock semalaman, karena Tock pergi ke Bangkok tanpa pamit dengan memecah tabungan adiknya. Saat akhirnya mereka bertemu, ayahnya sangat marah dan membawa pemukul, bukan untuk memukuli Tock, tapi memukul kakinya sendiri…
  5. Hubungan Tock dengan Moon mengingatkanku pada aku dan kakakku, dinamika dua bersaudara laki-perempuan yang saling menyayangi dengan caranya sendiri.

Overall, film ini layak ditonton tidak hanya sebagai hiburan tapi juga dapat diambil pelajaran berharga darinya. Tidak hanya unik dari segi budaya, tetapi juga tema sosial yang diangkat.

4.09.2011

My Heart Draws a Dream*


Apa cita-citamu?
Satu pertanyaan sederhana ini selalu membuatku flashback ke masa lalu, saat masih duduk di bangku SD, masa dimana aku dicekoki bahwa cita-cita atau profesi yang mulia adalah dokter. Tapi sejak masa itu sebenernya segala kegiatanku ga mendukung ke arah tersebut :p Seingatku, aku suka banget baca majalah dan berlangganan tiap minggunya (Bobo), sering pentas menari tradisional dan jadi murid yang paling cepet hapal gerakan-gerakannya, nyanyi dan ikut lomba paduan suara, sesekali membacakan dongeng  untuk sepupuku waktu menginap di rumahnya, suka bantuin mama bikin kue sampai hapal resepnya di luar kepala dan hobi makan adonan mentah, tapi paling ga bisa yang namanya menggambar/melukis. Entah mengapa, momen yang justru selalu diingat mamaku adalah saat TK ada temen berbadan bongsor yang menangis, aku menghampirinya, memberikan sentuhan untuk menenangkannya dan memberikannya sebuah sapu tangan…

Salah satu hobi yang bertahan hingga sekarang adalah baca majalah, tentunya dengan beragam evolusi :p Kalau sudah berhadapan dengan majalah, suka lupa waktu dan ga bakal ngeh dengan sekitar. Saking cintanya sama majalah, majalah yang kupunya sejak TK-SD itu sebagian masih mulusss dengan isi halaman yang masih lengkap, hanya sedikit yang kugunting karena terpaksa untuk tugas kliping. Saking ekstrimnya cintaku sama majalah, aku paling sebel kalau majalah yang baru kubeli dibaca oleh orang lain dulu sebelum aku membacanya, bisa bete seharian, hahaha… saking banyaknya majalah yang dibaca, sampai bisa membedakan majalah mana yang orang-orang di belakanganya hi-educated dan smart :D
Pengalamanku dengan majalah ga berhenti sampai di situ. Waktu lulus kelas 6 SD puisiku dimuat di majalah Bobo, berujung dapet merchandise t-shirt dan pertama kalinya punya sahabat pena. Pada masa yang sama, aku sering baca majalah SMA punya kakakku dan membayangkan menjadi bagian darinya. Bangku SMA pun menungguku, ekskul jurnalistik pun jadi incaran untuk pertama kalinya, Bhawikarsu Press. Sempet pengen jadi jurnalis lho, hehehe… Hal yang paling berkesan adalah aku diminta mas T meliput pertandingan futsal di sekolah. Whaattt?? Aku bukan penggemar sepakbola/futsal gitu lho, trus gimana dong aku nulisnya?? Melihat tatapan mas T yang jahil, aku terima tantangan itu. Berkat usaha kerasku (terutama observasi, yang hingga sekarang jadi kelebihanku), tulisanku mendapat pujian dengan sedikit perbaikan. Fiuh.. leganya. Setahun berikutnya aku berhasil menduduki posisi Pemred dan Pinum. Walaupun majalahnya menuai caci maki di sekolah sendiri, hayoh aku tantangin ada yang bisa bikin lebih bagus ga? Toh di sekolah sebelah, majalah yang kupimpin dapet pujian :D

Gara-gara majalah pula, aku “banting setir” pengen kuliah Psikologi. Ortu ga langsung setuju sih, tapiii akhirnya dibolehin juga, alhamdulillah. Meskipun sudah setahun kuliah masih ada saudara yang bertanya, “ga kuliah kedokteran aja? Kan kamu pinter..” Helloo, emang kalau kuliah psikologi ga butuh pinter? Ckckck…
Memasuki bangku kuliah, semangat untuk menulis menguap entah kemana.. kemampuan menulisku jadi ga pernah terasah lagi. Dan seiring berjalannya waktu, aku pengen jadi psikolog dan punya tempat praktik sendiri, karena itu aku lanjut magister profesi deh..
Kehidupan yang kulalui hingga saat ini membuatku bersyukur, apalagi hasratku untuk menulis kembali muncul (terima kasih untuk seseorang di sana yang selalu memberi dorongan dan apresiasi). Terkait dengan hobi masa kecil, masih tersimpan impian punya tempat praktik yang ada semacam corner untuk klien mencicipi kue buatanku, hihihi… lucu kali ya, atau psikolog yang punya kerjaan sampingan jadi kontributor majalah, hmm… akan terwujud atau engga, biarkan alam semesta yang berbicara ^_^

*minjem judul lagunya Laruku :p

4.02.2011

Puding Kacang Hijau

Hm... siapa sih yang engga tau nilai gizi kacang hijau? Mau direbus dan diminum airnya enak, dibikin bubur kacang hijau juga oke, apalagi dibikin campuran kolak. Alternatifnya kalo lagi bosen, bisa juga lho dibikin puding.
Saya nemu resep ini di majalah Selera, sudah agak lama, tapi melihat bahan yang mudah didapat dan step pembuatan yang sederhana, tanpa ba-bi-bu langsung dicoba dehhh.. ;)

Bahan:
100 g kacang hijau kupas
500 ml air
1 ruas jahe, dimemarkan
daun pandan secukupnya
600 ml susu cair
100 g gula pasir
100 g gula palem
1 bungkus agar-agar putih
garam secukupnya

Cara membuat:
  1. Rebus kacang hijau kupas bersama air, jahe, dan daun pandan hingga kacang hijau empuk, lalu angkat dan tiriskan.
  2. Rebus susu cair bersama gula pasir dan gula palem serta agar-agar putih dan garam hingga mendidih, lalu masukkan kacang hijau.
  3. Angkat lalu tuang di cetakan sesuai selera.


Mudah kan? Selamat mencoba :)

変身, Desire, Transpersonal


Yeah,,,, saya memang perempuan, usia 27 pula, tapi rasanya ini bukan jadi halangan untuk setia menonton serial TV jepun yang namanya kamen rider :D (sampai2 temen2 kuliah pada bilang kalo engga masang status berbau kamen rider artinya saya lagi stress, hahaha… aja2 ada :P)
Kalo ditanya kenapa saya suka kamen rider, jawabannya cukup simpel kok. Kamen rider bukan serial yang isinya adegan gebuk-gebukan dengan monster yang jelek (emang ada monster cakep?), tapi juga ada pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kalo masalah pemainnya cakep, anggep aja sebagai bonus :D
Kamen rider heisei yang jadi favorit sampe saat ini adalah Kabuto,,, hm.. the perfect one indeed, baik dari segi karakter, armor, maupun gaya bertarung yang elegan bin kakkoi.. *plus mizushima hiro yang bikin klepek2 waktu pake tuxedo putih*

Beberapa waktu yang lalu (tepatnya sebelum masuk mapro…ouwh, satu setengah tahun sudah berlalu ternyata), saya kepikiran nulis review tentang kamen rider heisei mulai kabuto sampe decade dilihat dari beberapa poin, tapi karena kesibukan akhirnya jadi terbengkalai  -__-

It’s ok.. yang penting adalah kali ini saya akan mengulas seri terbaru yaitu Kamen Rider 000 (baca: Os) yang mulai tayang di Jepang sejak September 2010 lalu. Karena saya akan mengulas dari sudut pandang saya pribadi sebagai penonton cewek dan calon Psikolog (amin), jadi memang sengaja engga baca sumber dari mana pun, hihihi… *sersan gitu deh a.k.a serius tapi santai…* >> agak sebel kalo baca animonster, kamen rider masuk kategori B-side alias boys side T_T

Episode pertamanya saja sudah jadi episode yang saya puter berkali-kali. Ada beberapa alasan memang. Pertama, saya heran episode berdurasi 23 menitan itu ceritanya sarat dengan makna dan sangat berbobot, mampu menyajikan alur yang cukup bisa dipahami, tapi juga jadi penentu rasa penasaran terhadap episode berikutnya. Kedua, yang langka adalah momen saat henshin itu ada lagunya *TaToBa,, TaToBa, TaToBa*.. adegan ini beneran bikin ngakak walopun engga sampe guling-guling. Ketiga, wajah pemerannya itu lhoooo, cupu banget! Saya jadi teringat kamen rider den-o yang lugu dan selalu sial itu.

Lanjuuuut,, setelah nonton episode 2, 3, 4, dan seterusnya baru keliatan deh polanya seperti apa…
Karena yang jadi obyek adalah manusia, pastinya juga berlandaskan atas sifat dasar manusia. Sifat manusia yang menonjol di cerita ini adalah manusia yang mempunyai keinginan. Sou desu, engga ada yang salah dengan punya keinginan, untuk survive manusia harus punya keinginan, untuk sukses dia harus punya mimpi. Tapii,, sejauh manakah keinginan ini menguasai manusia. Dakara sa, manusia-manusia yang menjadi sasaran Greed (musuh di serial ini) adalah yang berlebihan dalam memiliki keinginan. Dimana-mana yang namanya berlebihan juga engga baik kan?
Misalnya, episode pertama dan kedua tentang keinginan memiliki harta sampe2 menghalalkan segala cara termasuk mencuri, bahkan sekujur tubuh udah penuh dengan perban pun masih punya keinginan merampok bank.
Episode 3 & 4, tentang manusia yang keinginannya cuma makan, makan, dan makan, kaya engga punya rasa kenyang. Episode 5 & 6, tentang manusia yang hobi shopping branded items mulai sepatu, tas, baju. Sudah beli di toko masih juga beli secara online. Barang yang cacat dikit aja engga mau dipake lagi tapi harus beli baru. Padahal juga masih pake duit ortu. Giliran ortu tiba-tiba bangkrut, dia pun engga tahu harus ngapain lagi. Di episode yang lain ada istri yang suka mukulin suami dan ngelemparin suaminya pake sandal karena si suami ini boros banget. Juga ada peneliti yang punya keinginan untuk merusak dengan cara bikin bom dan mengebom tempat-tempat umum.


Nahh,, kalo dilihat dari sudut pandang psikologi transpersonal, keinginan manusia yang berlebihan semacam itu dinamakan “wanting”. Wanting juga bisa diistilahkan dengan hasrat atau nafsu keinginan. Ada beberapa macam wanting, yaitu:
  1. Wanting to control vs to be controlled (keinginan menguasai dan dikuasai)
  2. Wanting approval (wanting disapproval vs wanting to love)
  3. Wanting security vs wanting to die
  4. Wanting to be separate vs wanting to be one

Bagaimana dengan karakter lakonnya sendiri?
Setiap manusia yang terpilih menjadi kamen rider selalu punya keistimewaan. Karena tema serial ini adalah “desire”, lakon utamanya hampir-hampir engga punya keinginan selain membantu orang lain. Buat dirinya sendiri, yang penting bisa makan, tidur nyenyak, dan ada baju (terutama daleman :P) buat esok harinya. Misal hari ini jadi satpam, dia engga mikir apakah besok dia masih kerja di tempat yang sama ato engga. Karena kebaikan dan kesederhanaannya, ada pemilik kedai yang mau member dia tempat tinggal dan pekerjaan sebagai pelayan di situ. Dia juga punya prinsip yang oke banget, yaitu yang penting bukan apa yang ia ingin lakukan, tapi apa yang sudah ia lakukan. Intinya, lakon ini engga punya wanting, makanya dia jadi manusia terpilih ;)

Kalo dikaitkan dengan tiap episodenya, hampir ada tuh semua wanting. Contoh, kisah suami istri yang berantem itu. Dulunya suami ini seorang fotografer yang terkenal dengan karya yang bagus, tapi karena suatu hal kameranya harus dijual, di sisi lain suami ini juga boros sampe penghasilan istri pun dihabiskan. Istri mana yang engga jengkel dengan keadaan seperti ini? Tetapi istri ini akhirnya ingin mengendalikan (wanting to control) suaminya, bahwa semua hal harus sesuai dengan caranya. Kalo engga, dia akan memukul si suami, bahkan dia akan mengejar kemanapun si suami ini pergi (buat mergokin betapa boros si suami trus dipukulin dan dilemparin sandal -__-). Whoooaahh,, top dog-under dog banget ini!

Contoh lainnya yang hobi belanja itu…. Wanting yang menonjol adalah keinginan untuk diakui. Orangtua kaya raya tapi keliling luar negeri, jadi dia kurang kasih sayang. Akhirnya belanja ini-itu walopun bukan jadi kebutuhannya, karena ingin diakui dan dihargai oleh teman-teman di kampusnya. Kekayaan orangtua yang dibanggakan selama ini malah jadi bumerang, ayahnya pun mengalami kebangkrutan. Oke,, cukup untuk contohnya yaa, kalo dibahas semua engga selesai sehari semalam nih..

Jadi, kalo ditilik dari content-nya, emang terlalu “berat” untuk dikonsumsi anak-anak. Di Jepang sendiri, genre  tokusatsu semacam ini batasan umurnya 13 tahun ke atas. Dan menurut saya pribadi, mending nonton kamen rider daripada nonton sinetron, hahaha… Hmmm… jadi engga sabar menunggu kelanjutan serial ini. Disponsori apple gitu looohh..

Kamen rider? Why not???

Note: karena tiap judul episode terdiri dari 3 kata/frase, begitu pula dengan judul tulisan ini

Trans Jogja and Positive Parenting


Kalau ada yang bertanya-tanya apa hubungannya antara Trans Jogja dan Positive Parenting, saya jawab memang ga ada korelasinya, hehehe… ini adalah salah satu dari pengalaman saya waktu naik bus Trans Jogja dari shelter terminal Jombor sampai shelter Kentungan. Bukan perjalanan yang cukup panjang memang, tapi sangat berkesan meski beberapa bulan telah berlalu, tapi baru sekarang bisa tertuang dalam tulisan. Dan apa yang membuat pengalaman ini berkesan, adalah bagaimana seorang bapak melakukan pendidikan yang patut dicontoh oleh orangtua lainnya.
      Kronologisnya, seorang bapak masuk ke dalam bus dengan tergesa bersama anak laki-laki. Sekilas melihat si bapak, saya mbatin “Bapak iki kok sangar yo, rambut kribo, gondrong, dikuncir, brewokan pisan.” Tak lupa celana dan jaket berbahan denim yang melengkapi tampilan ala “preman” itu. Melihat anaknya, saya mbatin lagi “Iki moso’ anake?? Gak mirip blas!” karena si anak berambut lurus dan kurus, sedangkan bapaknya agak gemuk, selain tekstur rambut tadi.
      Begitu masuk bus, anak ini mengambil tempat duduk di sebelah saya, tapi dia langsung menaikkan sepatunya diatas jok, hmm… sesuatu yang wajar dilakukan anak seusianya saat naik kendaraan. Efuoria. Apa yang dikatakan bapaknya?
      “Kamu mau duduk disini?”
      “Iya.”
      “Oke, boleh.. tapi bapak minta maaf ya.. kamu kan pakai sepatu, kalau kakimu naik di sini nanti kotor..”
      “Berarti sepatunya dilepas?”
      “Hm.. kalau pakai sepatu sandal ga apa-apa, kan gampang dilepasnya. Tapi kamu kan pakai sepatu, jadi agak susah..”
      Anak itupun menurunkan kakinya. “Buseeeet, tampilan boleh sangar, tapi tutur katanya ga sesangar tampangnya, ga gengsi pula minta maaf ke anaknya” batin saya lagi.
      Rupanya, anak ini cukup “aktif”, ga seberapa lama setelah menurunkan kaki, dia berdiri tanpa pegangan padahal bus tersebut akan berbelok dan menyeberang.
“Bapak, aku ga jatuh lho..” sambil ketawa-ketawa.
“Yaa… mungkin bisa jatuh, mungkin juga engga.. tapi, kamu harus tau resikonya, kalau nanti jatuh ya ga boleh nangis.”
Dan anak itupun kembali memilih duduk setelah badan dia oleng ke kanan-kiri ga beraturan.
“Kita mau kemana, Pak?”
“Ke bandara, jemput ibu.”
Ponsel berdering, bapak itu mengangkat telpon…
Iseng-iseng saya bertanya nama anak itu, dijawab sekenanya tapi waktu ditanya sekolahnya ga digubris, ya sudah.. saya diam.
Setelah bapak itu menutup telpon, dia berbicara lagi ke anaknya, lagi-lagi dengan tutur kata yang halus.
“Dengerin bapak. Pesawatnya ibu nanti kan datangnya terlambat, jadi kita ke Mrican dulu ya, ke rumah si B biar nunggu di bandaranya ga terlalu lama. Kan kita ga boleh kalau ada di bandara terlalu lama.”
“Tapi jadi ke bandara?”
“Jadi, tapi kita mampir berhenti di Mrican dulu..”
Hening.
“Oiya..tadi ditanya sama kakak tuh, sudah dijawab belum?”
He noticed. Anaknya diem aja.
“Ya, tadi tanya namanya sudah dijawab, tapi tanya sekolahnya belum dijawab,” saya menimpali.
“Oh, namanya T**o, artinya pohon yang kuat. Sekolahnya TK A, tapi ga suka dianggap masih kecil jadi ngakunya TK B, hehehe…”
Bus lalu berhenti di depan traffic light.
“Bapak, kenapa ya, kalau lampunya merah kita berhenti, kalau lampunya emas siap-siap, tapi kalau hijau baru boleh jalan?”
“Wah, kalau itu sudah kesepakatan banyak orang, jadi jangan tanya bapak kenapa.”
Seluruh penumpang spontan tertawa. Padahal jawaban standar orangtua “ya sudah dari sananya” atau “kalau ga begitu ya ditangkap polisi”.
Ah..ga terasa sudah sampai shelter Kentungan ternyata, padahal masih ingin mendengar celoteh anak itu dan bagaimana bapak itu menanggapinya dengan bijak.

Berdasar pengalaman tersebut, menurut jadi orangtua memang gampang-gampang susah, apalagi jaman sekarang yang anak-anaknya makin cerdas dan kritis. Jadi orangtua ya harus pinter juga, harus bisa setara dan menjadi sahabat bagi anak tanpa harus kehilangan wibawa sebagai orangtua. Walaupun pada akhirnya ga ada orangtua yang sempurna, termasuk orangtua kita sendiri, atau bahkan orang yang mengerti psikologi anak sekalipun. Tapi setidaknya, kita memberikan yang terbaik untuk anak saat kita sudah menjadi orangtua, karena bagaimanapun juga perilaku anak adalah cermin dari perilaku orangtuanya.
Siapkah Anda menjadi orangtua? Bagaimana Anda akan mendidik anak Anda dan bekal apa yang sudah Anda punya? Pilihan ada di tangan Anda.