4.02.2011

Trans Jogja and Positive Parenting


Kalau ada yang bertanya-tanya apa hubungannya antara Trans Jogja dan Positive Parenting, saya jawab memang ga ada korelasinya, hehehe… ini adalah salah satu dari pengalaman saya waktu naik bus Trans Jogja dari shelter terminal Jombor sampai shelter Kentungan. Bukan perjalanan yang cukup panjang memang, tapi sangat berkesan meski beberapa bulan telah berlalu, tapi baru sekarang bisa tertuang dalam tulisan. Dan apa yang membuat pengalaman ini berkesan, adalah bagaimana seorang bapak melakukan pendidikan yang patut dicontoh oleh orangtua lainnya.
      Kronologisnya, seorang bapak masuk ke dalam bus dengan tergesa bersama anak laki-laki. Sekilas melihat si bapak, saya mbatin “Bapak iki kok sangar yo, rambut kribo, gondrong, dikuncir, brewokan pisan.” Tak lupa celana dan jaket berbahan denim yang melengkapi tampilan ala “preman” itu. Melihat anaknya, saya mbatin lagi “Iki moso’ anake?? Gak mirip blas!” karena si anak berambut lurus dan kurus, sedangkan bapaknya agak gemuk, selain tekstur rambut tadi.
      Begitu masuk bus, anak ini mengambil tempat duduk di sebelah saya, tapi dia langsung menaikkan sepatunya diatas jok, hmm… sesuatu yang wajar dilakukan anak seusianya saat naik kendaraan. Efuoria. Apa yang dikatakan bapaknya?
      “Kamu mau duduk disini?”
      “Iya.”
      “Oke, boleh.. tapi bapak minta maaf ya.. kamu kan pakai sepatu, kalau kakimu naik di sini nanti kotor..”
      “Berarti sepatunya dilepas?”
      “Hm.. kalau pakai sepatu sandal ga apa-apa, kan gampang dilepasnya. Tapi kamu kan pakai sepatu, jadi agak susah..”
      Anak itupun menurunkan kakinya. “Buseeeet, tampilan boleh sangar, tapi tutur katanya ga sesangar tampangnya, ga gengsi pula minta maaf ke anaknya” batin saya lagi.
      Rupanya, anak ini cukup “aktif”, ga seberapa lama setelah menurunkan kaki, dia berdiri tanpa pegangan padahal bus tersebut akan berbelok dan menyeberang.
“Bapak, aku ga jatuh lho..” sambil ketawa-ketawa.
“Yaa… mungkin bisa jatuh, mungkin juga engga.. tapi, kamu harus tau resikonya, kalau nanti jatuh ya ga boleh nangis.”
Dan anak itupun kembali memilih duduk setelah badan dia oleng ke kanan-kiri ga beraturan.
“Kita mau kemana, Pak?”
“Ke bandara, jemput ibu.”
Ponsel berdering, bapak itu mengangkat telpon…
Iseng-iseng saya bertanya nama anak itu, dijawab sekenanya tapi waktu ditanya sekolahnya ga digubris, ya sudah.. saya diam.
Setelah bapak itu menutup telpon, dia berbicara lagi ke anaknya, lagi-lagi dengan tutur kata yang halus.
“Dengerin bapak. Pesawatnya ibu nanti kan datangnya terlambat, jadi kita ke Mrican dulu ya, ke rumah si B biar nunggu di bandaranya ga terlalu lama. Kan kita ga boleh kalau ada di bandara terlalu lama.”
“Tapi jadi ke bandara?”
“Jadi, tapi kita mampir berhenti di Mrican dulu..”
Hening.
“Oiya..tadi ditanya sama kakak tuh, sudah dijawab belum?”
He noticed. Anaknya diem aja.
“Ya, tadi tanya namanya sudah dijawab, tapi tanya sekolahnya belum dijawab,” saya menimpali.
“Oh, namanya T**o, artinya pohon yang kuat. Sekolahnya TK A, tapi ga suka dianggap masih kecil jadi ngakunya TK B, hehehe…”
Bus lalu berhenti di depan traffic light.
“Bapak, kenapa ya, kalau lampunya merah kita berhenti, kalau lampunya emas siap-siap, tapi kalau hijau baru boleh jalan?”
“Wah, kalau itu sudah kesepakatan banyak orang, jadi jangan tanya bapak kenapa.”
Seluruh penumpang spontan tertawa. Padahal jawaban standar orangtua “ya sudah dari sananya” atau “kalau ga begitu ya ditangkap polisi”.
Ah..ga terasa sudah sampai shelter Kentungan ternyata, padahal masih ingin mendengar celoteh anak itu dan bagaimana bapak itu menanggapinya dengan bijak.

Berdasar pengalaman tersebut, menurut jadi orangtua memang gampang-gampang susah, apalagi jaman sekarang yang anak-anaknya makin cerdas dan kritis. Jadi orangtua ya harus pinter juga, harus bisa setara dan menjadi sahabat bagi anak tanpa harus kehilangan wibawa sebagai orangtua. Walaupun pada akhirnya ga ada orangtua yang sempurna, termasuk orangtua kita sendiri, atau bahkan orang yang mengerti psikologi anak sekalipun. Tapi setidaknya, kita memberikan yang terbaik untuk anak saat kita sudah menjadi orangtua, karena bagaimanapun juga perilaku anak adalah cermin dari perilaku orangtuanya.
Siapkah Anda menjadi orangtua? Bagaimana Anda akan mendidik anak Anda dan bekal apa yang sudah Anda punya? Pilihan ada di tangan Anda.

0 comments:

Posting Komentar