9.03.2012

Kekkon Journal Part 3


Hohoho… awalnya kukira hari-hari menjelang pernikahan ada waktu luang untuk menulis kekkon journal, ternyata malah mangkrak :P daripada ga dilanjutin kok kesannya nanggung, walaupun agak telat yah ga apa-apa kan aku tulis pelan-pelan…
Seperti yang kujanjikan pada tulisan sebelumnya, kali ini  aku akan menulis hal-hal nonteknis yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dan dipikirkan setelah hari H terlewati. Bekal ini aku dapatkan ketika menjalani praktik kerja profesi selama 2 bulan di salah satu Puskesmas di Sleman, Yogyakarta. Setiap calon pengantin yang sudah mendaftar ke KUA dihimbau untuk datang ke Puskesmas melakukan pemeriksaan kesehatan, mendapatkan konseling gizi, dan konsultasi psikologi dengan harga paket yang terjangkau.
Nah, poin-poin apa saja yang disoroti dalam aspek psikologis? Hal ini membuat beberapa klien bertanya-tanya dengan keingintahuan mereka yang sangat tinggi, terutama untuk klien yang mengenyam pendidikan lebih tinggi. Selain pertanyaan standar seperti berapa lama hubungan yang dijalin oleh calon pengantin sebelum memutuskan untuk menikah, lalu hal apa yang membuat mereka merasa sudah waktunya untuk menikah, juga ada semacam pedoman pertanyaan seperti yang akan kujabarkan di bawah ini:

Pernikahan seperti apa yang ingin diwujudkan?
Menanggapi pertanyaan seperti ini, sebagian besar menjawab “sakinah, mawaddah, warrohmah”. Kalau yang agak sedikit “kreatif” biasanya akan menjawab keluarga yang bahagia, rukun, saling mencintai, dst. Bahkan ada yang tidak mampu menjelaskan pernikahan seperti apa yang dia inginkan. Menurutku hal ini kembali pada masing-masing individu, dia menikah atas dasar pertimbangan dan motivasi apa. Namun  karena pernikahan itu menyatukan dua individu, dua raga, dua pemikiran, maka perlu ada komunikasi antar pasangan mengenai visi dan misi pernikahan. Kalau sejalan tidak akan menjadi masalah, tetapi kalau berbeda? Berarti perlu dikomunikasikan kembali supaya dapat menjembatani perbedaan tersebut.

Setelah menikah akan langsung memiliki anak atau menunda terlebih dahulu?
Idealnya memang setiap pasangan yang menikah juga akan merencanakan kehamilan, namun beberapa pasangan memiliki alasan tertentu untuk menundanya. Misalnya calon istri masih ingin lanjut bekerja dan menabung sebelum merencanakan kehamilannya. Ada juga pasangan yang tidak terlalu memikirkan hal ini, jadi kalau bisa cepat hamil ya diterima dengan senang hati, seandainya belum juga tidak jadi masalah. Mau memilih yang manapun itu adalah hak setiap pasangan, tetapi poin pentingnya di sini adalah komunikasi dengan pasangan, jangan sampai misalnya istri ingin menunda tetapi suami ingin segera memiliki momongan dan perbedaan tersebut malah menimbulkan perselisihan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kalau keduanya ingin menunda, bisa memilih apakah dengan cara yang alami (sistem kalender) atau menggunakan alat kontrasepsi. Untuk pilihan kedua sebaiknya dikonsultasikan dulu dengan ahlinya.

gambar diambil dari http://www.pharmacynews.com.au

Setelah menikah akan tinggal di rumah sendiri atau dengan orangtua/mertua?
Idealnya (lagi), pengantin baru setelah menikah memilih untuk memiliki rumah sendiri. Selain bisa mengelola rumah tangga seperti yang diinginkan, pasangan suami istri baru juga bisa belajar mandiri mengatasi setiap permasalahan rumah tangga.
Namun tak sedikit juga yang masih tinggal bersama orangtua/mertua dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Konsekuensinya pengantin baru akan menghadapi lebih banyak penyesuaian, tidak hanya penyesuaian dengan sifat-sifat pasangan yang belum muncul selama proses mengenal sebelum menikah, tetapi juga dengan sifat dan kebiasaan orangtua/mertua. Konsekuensi yang lebih jauh lagi mengenai urusan tempat tinggal ini akan terasa ketika pasangan tersebut memiliki anak, yaitu adanya intervensi dari pihak lain dalam mengasuh dan merawat anak. Apapun kondisinya tetap disyukuri aja ya, karena pasti masing-masing ada hikmahnya, jadi tak perlu berkecil hati.

gambar diambil dari  http://www.photo-dictionary.com/phrase/4603/family-house.html#b 

Setelah menikah bagaimana dan siapa yang mengelola keuangan rumah tangga?
Disadari atau tidak, soal keuangan termasuk isu yang sensitif.  Bisa saja awalnya jadi masalah yang sepele namun suatu saat jadi masalah besar yang memicu perceraian. Apakah istri juga bekerja atau tidak, tetap harus ada kesepakatan yang jelas apakah istri menerima dan memegang seluruh nafkah yang diberikan suami, lalu uang tersebut akan dialokasikan untuk apa saja, berapa jumlah yang disisihkan untuk ditabung, dan seterusnya.

gambar diambil dari  http://infocus.emc.com/dave_bagatelle/financial-planning-static-vs-probabilistic/ 

Itulah “sekelumit” aspek pernikahan yang aku rangkum dalam beberapa poin dari pengalamanku memberikan konseling caten, semoga bisa membantu pasangan-pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan.


0 comments:

Posting Komentar