Hohoho…
awalnya kukira hari-hari menjelang pernikahan ada waktu luang untuk menulis
kekkon journal, ternyata malah mangkrak :P daripada ga dilanjutin kok kesannya
nanggung, walaupun agak telat yah ga apa-apa kan aku tulis pelan-pelan…
Seperti
yang kujanjikan pada tulisan sebelumnya, kali ini aku akan menulis hal-hal nonteknis yang tidak
kalah penting untuk diperhatikan dan dipikirkan setelah hari H terlewati. Bekal
ini aku dapatkan ketika menjalani praktik kerja profesi selama 2 bulan di salah
satu Puskesmas di Sleman, Yogyakarta. Setiap calon pengantin yang sudah
mendaftar ke KUA dihimbau untuk datang ke Puskesmas melakukan pemeriksaan
kesehatan, mendapatkan konseling gizi, dan konsultasi psikologi dengan harga
paket yang terjangkau.
Nah,
poin-poin apa saja yang disoroti dalam aspek psikologis? Hal ini membuat
beberapa klien bertanya-tanya dengan keingintahuan mereka yang sangat tinggi,
terutama untuk klien yang mengenyam pendidikan lebih tinggi. Selain pertanyaan
standar seperti berapa lama hubungan yang dijalin oleh calon pengantin sebelum
memutuskan untuk menikah, lalu hal apa yang membuat mereka merasa sudah
waktunya untuk menikah, juga ada semacam pedoman pertanyaan seperti yang akan
kujabarkan di bawah ini:
Pernikahan
seperti apa yang ingin diwujudkan?
Menanggapi
pertanyaan seperti ini, sebagian besar menjawab “sakinah, mawaddah, warrohmah”.
Kalau yang agak sedikit “kreatif” biasanya akan menjawab keluarga yang bahagia,
rukun, saling mencintai, dst. Bahkan ada yang tidak mampu menjelaskan
pernikahan seperti apa yang dia inginkan. Menurutku hal ini kembali pada
masing-masing individu, dia menikah atas dasar pertimbangan dan motivasi apa.
Namun karena pernikahan itu menyatukan
dua individu, dua raga, dua pemikiran, maka perlu ada komunikasi antar pasangan
mengenai visi dan misi pernikahan. Kalau sejalan tidak akan menjadi masalah,
tetapi kalau berbeda? Berarti perlu dikomunikasikan kembali supaya dapat
menjembatani perbedaan tersebut.
Setelah
menikah akan langsung memiliki anak atau menunda terlebih dahulu?
Idealnya
memang setiap pasangan yang menikah juga akan merencanakan kehamilan, namun
beberapa pasangan memiliki alasan tertentu untuk menundanya. Misalnya calon
istri masih ingin lanjut bekerja dan menabung sebelum merencanakan
kehamilannya. Ada juga pasangan yang tidak terlalu memikirkan hal ini, jadi
kalau bisa cepat hamil ya diterima dengan senang hati, seandainya belum juga
tidak jadi masalah. Mau memilih yang manapun itu adalah hak setiap pasangan,
tetapi poin pentingnya di sini adalah komunikasi dengan pasangan, jangan sampai
misalnya istri ingin menunda tetapi suami ingin segera memiliki momongan dan
perbedaan tersebut malah menimbulkan perselisihan yang seharusnya tidak perlu
terjadi. Kalau keduanya ingin menunda, bisa memilih apakah dengan cara yang
alami (sistem kalender) atau menggunakan alat kontrasepsi. Untuk pilihan kedua
sebaiknya dikonsultasikan dulu dengan ahlinya.
gambar diambil dari http://www.pharmacynews.com.au |
Setelah
menikah akan tinggal di rumah sendiri atau dengan orangtua/mertua?
Idealnya
(lagi), pengantin baru setelah menikah memilih untuk memiliki rumah sendiri.
Selain bisa mengelola rumah tangga seperti yang diinginkan, pasangan suami
istri baru juga bisa belajar mandiri mengatasi setiap permasalahan rumah tangga.
Namun
tak sedikit juga yang masih tinggal bersama orangtua/mertua dengan berbagai
alasan dan pertimbangan. Konsekuensinya pengantin baru akan menghadapi lebih
banyak penyesuaian, tidak hanya penyesuaian dengan sifat-sifat pasangan yang
belum muncul selama proses mengenal sebelum menikah, tetapi juga dengan sifat
dan kebiasaan orangtua/mertua. Konsekuensi yang lebih jauh lagi mengenai urusan
tempat tinggal ini akan terasa ketika pasangan tersebut memiliki anak, yaitu
adanya intervensi dari pihak lain dalam mengasuh dan merawat anak. Apapun
kondisinya tetap disyukuri aja ya, karena pasti masing-masing ada hikmahnya,
jadi tak perlu berkecil hati.
gambar diambil dari http://www.photo-dictionary.com/phrase/4603/family-house.html#b |
Setelah
menikah bagaimana dan siapa yang mengelola keuangan rumah tangga?
Disadari
atau tidak, soal keuangan termasuk isu yang sensitif. Bisa saja awalnya jadi masalah yang sepele
namun suatu saat jadi masalah besar yang memicu perceraian. Apakah istri juga
bekerja atau tidak, tetap harus ada kesepakatan yang jelas apakah istri
menerima dan memegang seluruh nafkah yang diberikan suami, lalu uang tersebut
akan dialokasikan untuk apa saja, berapa jumlah yang disisihkan untuk ditabung,
dan seterusnya.
gambar diambil dari http://infocus.emc.com/dave_bagatelle/financial-planning-static-vs-probabilistic/ |
Itulah
“sekelumit” aspek pernikahan yang aku rangkum dalam beberapa poin dari
pengalamanku memberikan konseling caten, semoga bisa membantu pasangan-pasangan
yang sedang mempersiapkan pernikahan.
0 comments:
Posting Komentar